Kemerdekaan bukan hanya tentang lepas dari penjajahan, tetapi juga tentang keberanian menyuarakan kebenaran. Setelah delapan dekade merdeka, ruang jurnalis untuk menulis dan beropini masih kerap terhimpit tekanan. Apakah kemerdekaan pers benar-benar sudah kita miliki?
Delapan puluh tahun adalah usia yang panjang untuk sebuah bangsa. Indonesia yang lahir dari perjuangan dan pengorbanan para pahlawan, mestinya kini sudah matang dalam berdemokrasi. Kemerdekaan tidak hanya berarti terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga menjamin kebebasan warga negaranya dalam berpendapat, berekspresi, serta memperoleh informasi yang benar dan terbuka.
Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan. Di balik gegap gempita perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia, terdapat ironi yang mencemaskan: jurnalis, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga demokrasi, justru masih kerap berada dalam bayang-bayang tekanan.
Tekanan yang Membatasi Kebebasan Jurnalis
Kebebasan pers di Indonesia diakui secara konstitusional. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Namun, implementasi di lapangan sering kali bertolak belakang.
Bentuk tekanan itu bermacam-macam:Ancaman fisik terhadap jurnalis yang memberitakan isu sensitif, Kriminalisasi melalui pasal karet di undang-undang tertentu. Tekanan ekonomi dan politik dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Intervensi halus dalam ruang redaksi yang mengikis independensi media. Semua ini menunjukkan bahwa meski Indonesia merdeka sudah delapan dekade, jurnalis masih sering merasakan “penjajahan” dalam bentuk baru.
Pers sebagai Pilar Demokrasi
Dalam negara demokrasi, pers adalah pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Perannya sangat vital: menjadi jembatan informasi, menyuarakan kepentingan publik, mengkritisi kebijakan, sekaligus menjadi kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Namun, ketika jurnalis dibungkam atau ditekan, yang dirugikan bukan hanya profesi mereka. Masyarakat luas pun kehilangan hak untuk mendapatkan informasi yang objektif. Demokrasi menjadi pincang karena salah satu tiangnya melemah.
Pers yang independen adalah cermin dari kedewasaan demokrasi. Tanpa kebebasan pers, kemerdekaan yang kita banggakan hanya sebatas simbol, bukan substansi.
Tantangan Jurnalisme di Era Digital
Selain tekanan eksternal, jurnalis kini juga menghadapi tantangan baru di era digital. Ledakan informasi di media sosial sering kali menciptakan “banjir informasi” yang tidak semuanya benar. Disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian bertebaran, sementara media arus utama dituntut tetap menjaga akurasi dan kredibilitas.
Dalam situasi ini, jurnalis justru semakin dibutuhkan. Mereka harus hadir dengan keberanian, integritas, dan profesionalitas untuk meluruskan informasi, menyajikan fakta, serta menjadi penuntun masyarakat di tengah hiruk-pikuk informasi digital. Namun, semua itu hanya bisa dilakukan bila ruang gerak mereka bebas dari intimidasi.
Refleksi untuk Pemerintah dan Masyarakat
Refleksi 80 tahun kemerdekaan harus menjadi titik balik. Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu benar-benar menjamin kebebasan pers, bukan hanya di atas kertas. Pasal-pasal karet yang kerap menjerat jurnalis harus ditinjau kembali, agar tidak menjadi alat untuk membungkam kritik.
Pemilik media juga perlu memberi ruang yang sehat bagi wartawan untuk bekerja sesuai kode etik, tanpa intervensi kepentingan bisnis dan politik. Sementara itu, masyarakat sebagai pembaca juga harus mendukung jurnalis dengan menghargai karya jurnalistik yang kredibel, bukan justru terjebak dalam arus informasi instan yang menyesatkan.
Pers Bebas, Demokrasi Bernapas
Jurnalis bukan musuh negara. Mereka adalah mata, telinga, dan suara masyarakat. Bila suara mereka dibungkam, maka suara rakyat ikut teredam. Bila ruang menulis mereka dipersempit, maka demokrasi pun kehilangan napasnya.
Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia semestinya menegaskan bahwa bangsa ini cukup dewasa untuk menerima kritik, gagasan, dan opini yang berbeda. Kebebasan pers bukan ancaman, melainkan jaminan agar kekuasaan tetap berjalan di rel yang benar.
Mari jadikan refleksi kemerdekaan ini sebagai momentum bersama untuk menjaga dan memperkuat kebebasan pers. Sebab, hanya dengan pers yang bebas dan independen, Indonesia benar-benar bisa disebut merdeka seutuhnya.
Salam Pena # 62 citizen journalism
Redaksi Iqronews.click



















