Example floating
ADVETORIAL

Kebebasan Berpendapat dan Berkumpul: Mengapa Rakyat Turun ke Jalan?

537
×

Kebebasan Berpendapat dan Berkumpul: Mengapa Rakyat Turun ke Jalan?

Sebarkan artikel ini
Example 970 x200

Kebebasan menyuarakan pendapat dan berkumpul adalah hak fundamental yang dijamin konstitusi Indonesia. Pasal 28E UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak ini bukanlah hadiah dari penguasa, melainkan wujud kedaulatan rakyat yang menjadi inti demokrasi.

Namun, dalam praktiknya, hak tersebut kerap berbenturan dengan kebijakan negara. Pemerintah melalui eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, sering memandang demonstrasi sebagai ancaman ketertiban, bukan mekanisme koreksi yang sah terhadap jalannya pemerintahan.

Mengapa Demo Dilakukan?

Demo lahir karena suara rakyat sering kali tidak tersalurkan melalui jalur formal. Aspirasi yang disampaikan lewat mekanisme musyawarah, surat, hingga audiensi kerap diabaikan atau sekadar jadi catatan tanpa tindak lanjut. Rakyat turun ke jalan ketika jalan komunikasi politik tersumbat dan kebijakan pemerintah dianggap jauh dari kepentingan publik.

Demo adalah ekspresi keresahan kolektif. Ia muncul ketika ada kenaikan harga yang mencekik, kebijakan hukum yang timpang, praktik korupsi yang merajalela, atau keputusan politik yang tidak mencerminkan suara rakyat. Singkatnya: demo adalah tanda bahwa ada persoalan serius yang dirasakan banyak orang.

Demo Sejatinya Damai, Anarkis Bukan Tujuan

Perlu dipahami, mayoritas aksi demonstrasi dilakukan secara damai. Masyarakat turun ke jalan bukan untuk membuat kekacauan, melainkan untuk menyampaikan suara. Jika muncul tindakan anarkis, seringkali itu bukan cerminan dari substansi demo, melainkan ulah oknum provokator yang menyusup demi menciptakan kerusuhan atau mengambil keuntungan politik maupun ekonomi.

Menyamaratakan demo dengan anarkisme adalah kekeliruan besar. Justru negara harus mampu membedakan antara aspirasi rakyat yang tulus dengan tindakan segelintir pihak yang memang ingin membuat situasi rusuh.

Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif: Gagal Mendengar?

  • Eksekutif sering merespons demo dengan pendekatan keamanan, seakan stabilitas lebih penting daripada mendengar keluhan rakyat.

  • Legislatif, yang seharusnya menjadi corong aspirasi, justru melahirkan aturan yang mempersempit ruang demo.

  • Yudikatif pun kerap memperkuat kriminalisasi terhadap demonstran, alih-alih melindungi hak konstitusional.

Demo Seharusnya Jadi Ruang Dialog

Kita tidak boleh melupakan esensi dari demonstrasi: rakyat ingin didengar. Bukan sekadar teriak di jalan, melainkan mengundang pemerintah untuk membuka ruang dialog. Jika pemerintah mau duduk bersama rakyat, mendengar keresahan, dan menghadirkan solusi, maka demonstrasi bisa menjadi sarana perbaikan kebijakan, bukan sekadar konflik di jalanan.

Masyarakat tidak turun ke jalan tanpa alasan. Mereka berdemo karena suara mereka diabaikan. Membatasi demo hanya akan memperlebar jarak antara rakyat dan negara.

Sudah saatnya pemerintah memandang demonstrasi sebagai vitamin demokrasi, bukan ancaman. Dengan dialog yang jujur, membedakan aspirasi rakyat dari ulah provokator, serta mencari solusi bersama, demo bisa menjadi momentum korektif yang sehat demi Indonesia yang lebih adil.

Opini : Tosu – Toto Suranto

Redaksi iqronews.click dan Citizen Journalist

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!