Oleh : Tosu@2029
Tulisan ini ditulis dalam rangka intermezzo bahwa jurnalisme sejati bukan soal berpihak ke kelompok, tapi berpihak ke fakta.
Tulisan ini diharapkan bisa menjadi pengingat bahwa tertawa bisa jadi bentuk perlawanan paling sehat di negeri yang kadang terlalu serius walau kita ngga tau maksud dan tujuannya!
Di zaman sekarang, jadi jurnalis itu susah-susah lucu. Kadang dianggap pahlawan, kadang dianggap pengganggu. Kadang disayang karena angkat berita prestasi, tapi besoknya dibenci gara-gara nulis soal korupsi. Lah, kita ini jurnalis, bukan mantan pacar yang harus selalu bikin bahagia.
Lalu muncullah pertanyaan yang sering bikin kepala cenat-cenut:
“Kamu jurnalis, pro siapa sih?”
Eh, kok kayak kampanye. Padahal kita ini bukan caleg, bukan tim sukses, bukan buzzer, dan bukan dukun pemilu.
Kadang lucu juga. Kalau kita nulis tentang pejabat A yang bikin blunder, langsung dituduh pro B. Nulis tentang tokoh B yang nyebar hoaks, langsung dituduh pro A.
Mau aman? Tulis horoskop. Tapi ya jangan salah, nanti zodiak bisa ngamuk juga!
Padahal prinsip dasar jurnalis itu simpel:
bukan pro ke sana, bukan pro ke sini, tapi pro pada apa yang benar.
Kita pro pada data, fakta, logika, dan sesekali… promo nasi padang murah. Ya, jurnalis juga manusia, lapar bos!
Jurnalis: Antara Netral dan Waras
Orang suka salah kaprah. Dikiranya netral itu berarti diam aja waktu ada pelanggaran, pura-pura nggak tahu waktu ada kasus.
Lah, kalau begitu mah namanya bukan netral, itu namanya ngumpet!
Jurnalis harus netral dalam arti tidak berpihak pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tapi ketika ada kebenaran, ya harus dukung.
Misalnya ada rakyat kecil yang tanahnya diserobot perusahaan, masa kita diam?
Ada kasus pungli, kegiatan ilegal , masa kita bilang “itu urusan mereka”?
No, Sir! Kita bukan patung Pancoran!
Jurnalis Bukan Tukang Sorak, Bukan Tukang Goreng
Jurnalis yang bener itu nggak boleh jadi tukang sorak yang teriak “hidup… hidup…” setiap ada kekuasaan lewat, apalagi jadi tukang goreng isu biar rame, atau tukang kompor biar netizen ribut.
Itu kerjaan infotainment plus netijen gabut, bukan jurnalis.
Jurnalis juga bukan tukang poles. Kalau ada pejabat nyolong terus kita tulis: “Pejabat ini sedang melakukan kegiatan redistribusi dana keuangan secara mandiri,”
Wah, itu bukan nulis berita, itu copywriter neraka!
Jurnalis Itu Kayak Wasit
Kerja jurnalis itu kayak wasit bola. Nggak boleh main, tapi harus ngawasin semua yang main. Kalau ada yang nyikut, ya kasih kartu.
Kalau ada yang diving, ya bilang diving.
Tapi kalau ada yang nyetak gol cantik dari tengah lapangan, ya kita juga wajib bilang: “Wah, keren ini!”
Tugas jurnalis adalah mencatat sejarah sambil berdiri di tengah medan opini, gosip, dan tekanan. Tapi ingat: berdiri tegak, bukan tengkurap karena amplop.
Jadi, jurnalis harus pro siapa?
Pro kebenaran. Pro kejujuran. Pro rakyat. Dan kadang, pro kopi hitam jam 3 pagi biar bisa ngetik naskah tanpa ngantuk.

















