Indramayu # Persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Indramayu kembali menyita perhatian publik. Seorang warga Indramayu menggugat keabsahan penetapan tersangka yang dilakukan penyidik kepolisian. Tim kuasa hukum Pemohon menilai proses penyidikan cacat prosedur dan tidak sesuai prinsip due process of law. Selasa, 14/10/2025.
Jawaban Termohon Dinilai Tidak Sah Secara Formil
Dalam replik yang dibacakan di ruang sidang praperadilan Nomor: 05/Pid.Pra/2025/PN.Idm, kuasa hukum Pemohon — Anggi Saputra, S.H., LL.M., Muhammad Ainun Najib Surahman, S.H., LL.M., dan Yusuf Agung Purnama, S.H., M.H. — menyoroti keabsahan dokumen jawaban Termohon (pihak kepolisian).
Menurut mereka, surat jawaban hanya ditandatangani oleh 7 dari 10 kuasa Termohon, padahal dokumen menggunakan frasa “kami yang bertanda tangan di bawah ini” yang berarti harus ditandatangani seluruhnya.
“Ketidakhadiran tiga tanda tangan menunjukkan tidak adanya kesatuan kehendak hukum di antara kuasa Termohon. Ini cacat formil dan tidak sah,” tegas Anggi Saputra di hadapan hakim.
Pemohon menguatkan argumentasinya dengan merujuk pada Putusan MA No. 182 K/Sip/1973 dan No. 1336 K/Sip/1974, yang menegaskan pentingnya kesatuan tindakan hukum dalam surat kuasa bersama.
Dua Surat Perintah Penyelidikan Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Kuasa hukum juga menemukan adanya dua Surat Perintah Penyelidikan (SP.Lidik) atas perkara dan orang yang sama, yaitu SP.Lidik/540/VI/2025/Reskrim dan SP.Lidik/381/VII/2025/Reskrim.
Langkah ini dinilai menimbulkan ketidakjelasan hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum.
Selain itu, Termohon disebut tidak dapat menunjukkan Berita Acara Gelar Perkara yang sah sebagaimana diatur dalam Perkapolri No. 6 Tahun 2019 Pasal 48 ayat (2) dan Perkapolri No. 14 Tahun 2012 Pasal 13 ayat (2) huruf c.
“Tanpa gelar perkara, proses penyelidikan dan penyidikan menjadi tanpa legitimasi administratif,” ujar Anggi.
Bukti Lemah dan Visum Ganda
Pemohon juga menyoroti alat bukti yang digunakan penyidik, yang disebut hanya bersumber dari keterangan tidak langsung (hearsay), pakaian korban, dan dua visum et repertum berbeda tanggal dan nomor.
Menurutnya, hal ini menimbulkan ambiguitas dan melanggar standar minimal dua alat bukti sah sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 serta Pasal 184 KUHAP.
“Dengan bukti lemah dan visum ganda, penyidik telah bertindak tanpa dasar hukum yang kuat,” tegas kuasa hukum.
SPDP Tak Pernah Disampaikan
Temuan lain, Pemohon mengaku tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Padahal, Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 mewajibkan penyidik menyampaikan SPDP kepada terlapor maksimal tujuh hari sejak penyidikan dimulai.
Kelalaian ini dinilai mencederai asas fair trial dan hak atas pembelaan diri.
Tuntutan: Batalkan Penetapan Tersangka dan Pulihkan Martabat
Dalam petitumnya, Pemohon meminta hakim agar:
-
Menyatakan jawaban Termohon tidak sah;
-
Menyatakan penetapan tersangka batal demi hukum;
-
Memerintahkan penghentian penyidikan; dan
-
Memulihkan hak, harkat, serta martabat Pemohon.
Preseden Baru Bagi Akuntabilitas Penyidikan
Kasus ini menjadi sorotan karena menyinggung aspek mendasar penegakan hukum: kepastian prosedur dan akuntabilitas penyidik.
Jika hakim mengabulkan permohonan Pemohon, putusan tersebut berpotensi menjadi preseden baru dalam praktik praperadilan di Indonesia, memperkuat prinsip bahwa setiap tindakan penyidik sekecil apa pun harus tunduk pada asas legalitas dan kejelasan prosedural.
(#Rls.)
















