# SPILAN^SPILUN : Menspill Peristiwa Puzzle Kehidupan
Menspill # Makna Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari # Menggugah Kembali Makna Tut Wuri Handayani dalam Dunia Pendidikan.
Di tengah sorotan terhadap dunia pendidikan Indonesia, peribahasa klasik “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” kembali mengemuka sebagai bahan renungan mendalam.
Ungkapan ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh teladan seorang guru terhadap perilaku murid. Kini, maknanya terasa nyata di tengah maraknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah baik oleh guru terhadap siswa, maupun sebaliknya.
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik terjadi di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten.
Seorang orang tua melaporkan kepala sekolah ke polisi karena menampar siswa yang merokok di area sekolah.
Kasus ini menimbulkan perdebatan luas, bukan hanya soal tindak kekerasan, tetapi juga tentang retaknya hubungan kemanusiaan antara guru dan murid.
Makna Moral di Balik Peribahasa
Peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” bukan sekadar sindiran, melainkan peringatan moral yang sangat dalam.
Ia menegaskan bahwa perilaku guru adalah cermin bagi murid.
Apa yang dilihat dan dirasakan murid dari gurunya akan mereka tiru bahkan bisa lebih jauh dari yang dibayangkan.
# Ketika guru berbicara dengan kasar, murid belajar untuk menghardik.
# Ketika guru mempermalukan murid, murid akan meniru dengan mempermalukan temannya.
# Ketika guru kehilangan kesabaran, murid kehilangan rasa hormat.
# Ketika guru merokok di lingkungan sekolah, murid belajar bahwa aturan hanyalah formalitas.
Keteladanan sejati bukan hanya soal kedisiplinan atau penguasaan ilmu, melainkan tentang bagaimana guru bersikap dengan hati.
Peribahasa itu seperti alarm moral: jangan berharap murid bersikap santun, jika gurunya belum mampu mencontohkan kesantunan.
Tut Wuri Handayani yang Mulai Terlupakan
Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan sejati bukanlah memaksa, tetapi menuntun kodrat anak agar tumbuh selaras antara akal, rasa, dan karsa.
Namun, realitas di lapangan sering kali berbalik arah: murid ditekan dengan hukuman, guru terjebak dalam emosi, dan sekolah kehilangan jati dirinya sebagai ” Kawasan Wiyata Mandala ” ruang aman dan bermartabat bagi tumbuhnya budi pekerti.
Kini, banyak hubungan guru dan murid yang kehilangan kehangatan. Guru yang seharusnya menjadi panutan, justru kadang dipersepsikan menakutkan. Sebaliknya, sebagian murid merasa bebas menantang otoritas guru, bahkan menjadikan konflik di kelas sebagai tontonan di media sosial.
Baja juga : Guru Menegur, Orang Tua Melapor: Hilangnya Pemahaman Arti Wiyatamandala
Krisis Keteladanan: Akar dan Realitas
Krisis keteladanan tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dari sistem pendidikan yang terlalu fokus pada nilai dan administrasi, tetapi abai pada aspek afektif dan moral. Guru dibebani tumpukan berkas, murid dikejar target akademik, sementara ruang untuk empati dan dialog semakin sempit.
Padahal, semangat Tut Wuri Handayani menekankan keseimbangan antara pengetahuan dan perasaan.
Bahwa mendidik bukan berarti menakuti, melainkan menyentuh hati dan membangkitkan kesadaran.
Empat Langkah Menghidupkan Kembali Keteladanan
-
Guru sebagai Cermin Moral dan Emosional
Guru adalah teladan pertama di sekolah. Teguran yang disampaikan dengan empati akan lebih membekas daripada amarah yang meledak-ledak. -
Sekolah sebagai Zona Aman dan Beradab
Sekolah harus menjadi Kawasan Wiyata Mandala yang bebas dari kekerasan.
Setiap kasus perundungan dan pelanggaran diselesaikan melalui pendekatan edukatif dan restoratif, bukan hanya hukuman. -
Orang Tua sebagai Teladan Pertama di Rumah
Sebelum anak belajar di sekolah, ia sudah belajar dari rumah.
Ketika orang tua menanamkan kasih, anak akan tumbuh dengan rasa hormat dan empati. -
Pemimpin Pendidikan sebagai Inspirator Nilai
Kepala sekolah, pengawas, dan pejabat pendidikan perlu menunjukkan integritas dan kebijakan yang berjiwa kemanusiaan.
Kebijakan yang menumbuhkan kasih sayang jauh lebih efektif daripada aturan yang menakut-nakuti.
Teladan Adalah Napas Pendidikan
Pendidikan sejatinya bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi pembentukan manusia seutuhnya.
# Jika guru mampu menahan amarah, murid akan belajar menahan ego.
# Jika guru berbicara dengan kasih, murid akan belajar menghargai.
# Jika guru mencemooh, murid akan meniru bahkan melampauinya.
Peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” adalah alarm moral agar pendidik selalu menjaga perilakunya.
Sementara “Tut Wuri Handayani” mengingatkan bahwa tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi menuntun dan memberi teladan.
Jika kedua nilai ini dijalankan bersama, maka dunia pendidikan tidak hanya mencetak murid yang cerdas, tetapi juga manusia yang berkarakter, santun, dan berakhlak mulia sebagaimana cita-cita Ki Hajar Dewantara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan hati nurani.
Oleh : Tosu – Toto Suranto
Kreatif Media dan Citizen Journalism







