Bingung… Bingung! Refleksi di Balik Gelombang Demo
Agar tidak gagal paham, mari kita mulai dari kronologinya. Aksi pertama datang dari adik-adik mahasiswa yang menyoroti kenaikan tunjangan DPR. Suara mereka kemudian bersambung hingga tanggal 26 Agustus 2025.
Esoknya, saudara-saudara kita dari kalangan buruh turun ke jalan, lalu disusul oleh pengemudi ojek online (Ojol) yang ikut bergabung menyuarakan keresahan. Setelah itu, berbagai komponen masyarakat lain ikut bersatu.
Puncaknya terjadi pada tanggal 29 Agustus 2025, ketika seorang saudara kita, Affan—seorang pengemudi Ojol—menjadi korban dalam aksi tersebut. Dari sinilah gelombang demonstrasi kemudian merambah ke berbagai daerah. Situasi berubah menjadi darurat dan mengkhawatirkan bagi perjalanan berbangsa dan bernegara.
Presiden Prabowo pun mengambil langkah cepat. TNI diturunkan, bukan sekadar sebagai BKO, melainkan sebagai garda terdepan dalam mengamankan situasi. Alhamdulillah, keadaan berangsur terkendali.
Setelah itu, Presiden mengundang para pimpinan partai, khususnya yang memiliki kursi di DPR, ke Istana. Hasilnya, lima anggota DPR dinonaktifkan. Tidak berhenti di situ, Presiden juga merangkul tokoh-tokoh lintas agama, dan akhirnya menyampaikan pernyataan penting: “Saya akan mendengar semua yang disampaikan rakyat. Saya instruksikan aparat untuk memproses setiap pelanggaran, baik oleh aparat maupun pendemo yang bertindak anarkis.”
Langkah ini patut diapresiasi. Namun pertanyaan besar masih menggantung: bagaimana dengan akar masalahnya? Bagaimana dengan penegakan hukum, keadilan, lapangan kerja, tekanan ekonomi yang mencekik, hingga praktik korupsi yang tak kunjung sirna? Jika persoalan mendasar ini tidak dibenahi, apakah kita yakin gejolak serupa tidak akan terulang?
Yang lebih membingungkan, kini mulai muncul opini bahwa demo kemarin “ditunggangi” oleh kelompok tertentu—ada yang menyebut geng solo, geng reza, bahkan terdengar ada geng dari planet lain. Kalau benar ada yang menunggangi, kenapa tidak ditangkap saja? Kenapa harus membuat narasi yang justru mereduksi makna perjuangan rakyat?
Demo kemarin bukanlah rekayasa. Ia adalah ekspresi tulen dari akumulasi kekecewaan, kesakitan, kesulitan, dan kemarahan rakyat yang terpendam. Jangan sampai darah yang sudah tumpah kemudian dikecilkan nilainya hanya karena dianggap tidak murni.
Pada akhirnya, rakyat tidak peduli siapa dalangnya, siapa penumpang gelapnya, atau siapa pun yang dituduh berada di balik layar. Yang rakyat tunggu hanyalah realisasi konkret: perbaikan nyata yang bisa dirasakan, bukan sekadar janji, apalagi mimpi.
Salam,
G.710 CM
Opini : Papih Ruyanto
Politisi Senior dan Pemerhati Sosial Politik Masyarakat Cilik

















